Ruangpublik.com (18/1/2021) – Riset anti viral COVID-19 telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2020 atau pada saat merebaknya COVID 19 di Indonesia. Salah satunya adalah empon-empon yang dikembangkan lebih lanjut.
Prof. Chaerul Anwar Nidom, Guru BEsar Biologi Molekular dari Universitas Airlangga salah seorang yang mempelopori riset dan pengembangan Formula BCL (Bromhexine Hydrochloride) yang dapat digunakan sebagai receptor blocker untuk menghalau virus Corona SARS-Cov-2 agar tidak menempel di paru-paru.
Menurut Prof. Nidom, bahwa pasien Covid-19 yang meninggal disebabkan oleh virus corona SARS-Cov-2 yang berhasil menembus ke paru-paru dan menimbulkan peradangan. Untuk itu, maka diperlukan formula untuk memblok receptor tersebut.
Formula tersebut adalah BCL, Guaiphenisin, Vegetable Glycerine (VG), dan Propylene Glycol (PG) yang sudah didaftarkan hak patennya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
“Cara kerja formula ini dengan membendung reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) di paru-paru. Selain ada di paru-paru, reseptor ACE2 juga ada di jantung,” jelas Prof. Nidom sebagaimana rilis yang disampaikan kepada media.
Sebagai media penelitian, di laboratorium yang dibangun tiga tahun lalu ini telah tersedia 30 ekor ferret, hewan mamalia. Ada tiga formulasi yang dilakukan peneliti untuk mengetahui infeksi virus korona. Pertama dengan menginjeksikan ramuan empon-empon ke ferret secara terus-menerus. Kedua, menginjeksi virus ganas selevel korona, lalu beberapa saat setelahnya ferret disuntik virus.
Formula terakhir, menyuntikkan empon-empon dan virus secara bersamaan ke dalam tubuh ferret. Masa inkubasi formulasi ini efektif dalam jangka waktu maksimal 18 hari. Dalam eksperimen beberapa hari sebelumnya, eksperimen ini terbukti ampuh menetralisasi virus ganas ketika peneliti melakukan diagnosa ferret. Antivirus ini tidak hanya mudah dan ekonomis, tapi juga dapat dilakukan oleh warga secara sederhana.
Profesor CA Nidom mengklaim antivirus yang dihasilkan siap diuji coba. Produk itu siap diedarkan ke publik bila mendapat izin dari pemerintah.
BCL ini, lanjut Prof. Nidom, tidak mempengaruhi Myonal Cardivit atau ACE2 yang ada di jantung, sehingga BCL ini jika digunakan untuk menghambat Covid-19 akan lebih efektif dengan cara penguapan. Alasan metode penguapan dinilai lebih efektif, karena ACE2 menghalangi reseptor melalui aerosol.
Kandungan BCL sebetulnya, telah sering digunakan sebagai obat mukolitik untuk mengatasi gangguan pernafasan, terutama jika kondisi batuk secara terus-menerus. BCL sendiri merupakan reaksi kimiawi dari bromhexine dan hidrogen klorida dalam komposisi yang seimbang.
Uniknya, formula BCL tersebut tidak dalam bentuk kapsul atau sirup yang mesti diminum, melainkan dalam bentuk vaporizer, sehingga penggunannya melalui metode aerosol (penguapan).
Metode penguapan dipilih pun berdasarkan hasil riset yang membuktikan bahwa aeorosol saat diaplikasikan pada penanganan medis misalnya penggunaan salbutamol, dapat dengan mudah menyerap ke dalam tubuh dalam bentuk aerosol 57 persen lebih tinggi dibanding salbutamol dalam persediaan oral (diminum).
Dengan formula BCL ini diharapkan akan dapat membantu pemulihan pasien Covid-19, terutama yang masih dalam tahap awal penyembuhan. Hal ini disebabkan virus tersebut akan mati dengan sendirinya karena tidak berhasil menempel di reseptor ACE2 paru-paru.
Pengembangan hasil riset empon-empon yang dikemas menjadi produk nasional dapat membuka banyak lapangan pekerjaan dan menggiatkan kembali industri jamu tradisional. Pemerintah dapat membuat sebuah konsorsium yang terdiri dari BUMN farmasi dan beberapa perusahaan jamu nasional.
Sekali mendayung dua tiga masalah terlampaui. Indonesia mendapatkan “obat” COVID tanpa polemik seperti yang terjadi saat ini, pabrik jamu kembali produksi sekaligus membuka lapangan kerja baru.
SYF